Pemetaan, Dinamika dan Penanggulangan Konflik Sosial

Sebelum melakukan intervensi atau upaya penanggulangan konflik, ada baiknya untuk terlebih dahulu mencoba memetakan konflik, yaitu memahami berbagai aspek yang terkait dengan konflik secara mendalam. Hal tersebut dimaksudkan agar intervensi maupun penanggulangan dapat benar-benar tepat sasaran dan mampu menyelesaikan konflik secara menyeluruh.

Pemetaan Konflik Sosial

Amr Abdalla, seorang sosiolog dari United Nations University for Peace, mengembangkan model pemetaan konflik yang disebut SIPABIO (2002), yaitu sebagai berikut:

a. Source (Sumber Konflik)
Konflik disebabkan oleh sumber-sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe-tipe konflik yang berbeda pula. Sumber konflik tersebut bisa muncul dari hubungan sosial, nilai-nilai seperti identitas dan agama, ataupun dominasi struktural. Dengan mengenali sumber konflik, akan lebih mudah untuk merumuskan langkahlangkah penyelesaiannya.
b. Issues (Isu-Isu)
Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi tentang sumber-sumber konflik.
c. Parties (Pihak)
Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik, baik pihak konflik utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung terkait dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik.
d. Attitudes/Feelings (Sikap)
Sikap adalah perasaan dan persepsi yang memengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif maupun negatif bagi konflik.
e. Behaviour (Perilaku/Tindakan)
Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam tindakan tanpa kekerasan (non-coercive action) maupun penggunaan kekerasan (coercive action).
f. Intervention (Campur Tangan Pihak Lain)
Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam konflik agar dapat segera menemukan penyelesaian terbaik.
g. Outcome (Hasil Akhir)
Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak-pihak berkonflik dalam bentuk situasi.

Dinamika Konflik Sosial

Setelah memetakan konflik, langkah berikutnya adalah memahami dinamika konflik, agar dapat menentukan kira-kira pada tahap mana tindakan intervensi atau penanggulangan mulai dapat dilakukan. Menurut Simon Fisher (2001), tahapan dinamika konflik meliputi hal-hal berikut.
  1. Prakonflik, adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik masih relatif tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin telah mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Pada tahap ini, biasanya terdapat ketegangan hubungan di antara sejumlah pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
  2. Konfrontasi, memperlihatkan suatu tahap di mana konflik mulai terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya berangsur melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Arena pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak.
  3. Krisis, yang merupakan puncak konflik. Di tahap krisis, konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan melibatkan sejumlah besar orang (massal). Konflik skala besar ini biasanya merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh dan terjadi kerusakan harta benda yang parah.
  4. Pasca konflik, terjadi ketika situasi konflik diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, mengurangi ketegangan, hingga hubungan mulai pulih kembali antara pihak-pihak yang berkonflik.
Bila masih berada dalam tahap prakonflik, potensi konflik sesungguhnya dapat dielakkan dari kemungkinan berkembang menjadi konfrontasi dengan mengembangkan suatu saluran alternatif untuk mengungkapkannya. Alternatif semacam itu disebut katup pengaman (safety valve) konflik, melalui dorongan agresif atau sikap bermusuhan dapat disalurkan dalam wujud yang tidak mengancam atau merusak solidaritas (Johnson, 1986: 202). Misalnya, ketegangan antarpribadi dapat dilepaskan lewat humor atau lelucon jenaka. Contoh lainnya, agresi dan permusuhan yang terpendam dapat disalurkan melalui pertandingan ataupun kompetisi yang mengedepankan semangat persahabatan.

Metode Ajudikasi (ajudication)

Penanggulangan Konflik Sosial

Secara praktis, ada sejumlah strategi yang dapat diterapkan secara sederhana untuk mengatasi konflik, yaitu abandoning atau meninggalkan konflik, avoiding atau menghindari, dominating atau menguasai, obliging atau melayani, getting help atau mencari bantuan, humour atau bersikap humoris dan santai, postponing atau menunda, compromise atau berkompromi, integrating atau mengintegrasikan, dan problem solving atau bekerja sama menyelesaikan masalah (Schilling dalam Fisher, 2001: 296-297).

Jika konflik hanya disebabkan oleh faktor tunggal dan tidak diperumit oleh kompleksitas berbagai faktor, upaya mengatasi konflik sosial dilakukan melalui akomodasi. Secara umum, akomodasi dapat dimaknai sebagai suatu bentuk proses sosial yang di dalamnya dua atau lebih individu ataupun kelompok sosial berusaha untuk saling menyesuaikan diri demi teratasinya konflik dan tercapainya stabilitas (keseimbangan) sosial, di antaranya sebagai berikut.
  1. Koersi (coercion), adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilakukan dengan paksaan.
  2. Kompromi (compromise), yaitu suatu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang bertikai saling mengurangi tuntutannya demi penyelesaian perselisihan dan memudahkan berlangsungnya penyesuaian.
  3. Arbitrasi (arbitration), adalah suatu bentuk akomodasi di mana masingmasing pihak yang terlibat perselisihan tidak dapat lagi menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga menghadirkan pihak ketiga untuk menengahi dan memberikan keputusan yang mengikat kedua belah pihak.
  4. Mediasi (mediation), hampir menyerupai arbitrasi. Hanya saja peranan pihak ketiga sebatas memberikan saran atau masukan yang tidak mengikat.
  5. Konsiliasi (conciliation), yaitu suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
  6. Toleransi (tolerantion), adalah suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan formal. Masing-masing pihak bersikap sabar dan menahan diri dalam menyikapi perbedaan sehingga lambat laun akan timbul penyesuaian.
  7. Stalemate, merupakan bentuk akomodasi di mana pihakpihak yang bertikai memiliki kekuatan seimbang sehingga akhirnya pertikaian tersebut berhenti pada titik tertentu atau mencapai kemacetan yang mantap.
  8. Ajudikasi (ajudication), adalah penyelesaian perselisihan di pengadilan.
  9. Rasionalisasi (rationalization), yaitu pemberian keterangan atau alasan yang kedengarannya rasional untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sebenarnya dapat menimbulkan perselisihan.
  10. Segresi (segretion), di mana masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan.
  11. Eliminasi (elimination), yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik karena mengalah.
  12. Subjugation atau domination, yaitu pihak yang mempunyai kekuatan besar (dominan) meminta pihak lain untuk menaatinya.
  13. Keputusan mayoritas (majority rule), adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dalam voting.
  14. Minority consent, merupakan suatu keadaan di mana golongan minoritas merasa dikalahkan tetapi dapat melakukan kegiatan bersama, karena aspirasinya tetap diperhatikan oleh golongan mayoritas.
  15. Konversi, yaitu penyelesaian konflik di mana salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain.          
  16. Gencatan senjata (ceasefire), merupakan persetujuan untuk menghentikan pertikaian dan menangguhkan permusuhan dalam jangka waktu tertentu sehubungan adanya upaya-upaya penyelesaian masalah melalui twava merumuskan kesepakatan bersama.
Christopher Moore (2003) menambahkan bahwa bentuk dan proses pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan cara-cara berikut.
  1. Avoidance, di mana pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan berharap konflik bisa terselesaikan dengan sendirinya.
  2. Informal problem solving, pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.
  3. Negotiation, ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya, mencari jalan keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural, mengikat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi.
  4. Mediation, yaitu hadirnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua belah pihak karena dipandang bisa membantu pihak yang berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai.
  5. Executive dispute resolution approach, yaitu kemunculan pihak lain yang dihormati kedua belah pihak untuk memberi suatu bentuk penyelesaian konflik.
  6. Arbitration, merupakan suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang dipandang netral atau imparsial.
  7. Judicial approach, terjadinya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum.
  8. Legislative approach, yaitu intervensi melalui musyawarah politik dari lembaga perwakilan rakyat. Kasus-kasus konflik kebijakan sering diatasi dengan menggunakan pendekatan ini.
  9. Extra legal approach, penanganan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal dan mungkin tidak dimiliki pihak lawan. Salah satu pihak memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan tindakan.
Namun, bila konflik terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor, telah sedemikian tinggi intensitasnya, melibatkan kekerasan dan pertikaian bersenjata, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan harta benda dalam jumlah besar, maka diperlukan resolusi konflik. Secara empiris, resolusi konflik dilangsungkan dalam empat tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Tahap I: Mencari De-eskalasi Konflik
Di tahap pertama, konflik masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga terlebih dahulu hams diupayakan menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap pertama biasanya juga didominasi oleh penerapan strategi militer demi mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.
b. Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
Ketika de-eskalasi konflik telah ditemukan, maka negosiasi politik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik.
c. Tahap III: Problem Solving Approach
Tahap ketiga dari proses resolusi konflik cenderung memfokuskan pada orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi. Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alter-natif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung diterapkan.
d. Tahap IV: Working for Peace
Semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus-menerus melakukan intervensi terhadap konflik sosial dengan dua tujuan utama, yaitu sebagai berikut:
1) Peace Keeping
Upaya menjaga perdamaian, yang dilakukan melalui jalinan komunikasi terus-menerus antara pihak-pihak yang terlibat dan penempatan pasukan penjaga perdamaian untuk memantau situasi hingga benar-benar kondusif.
2) Peace Building
Merupakan pembangunan perdamaian yang berwujud upaya peningkatan kesejahteraan, pembangunan kembali infrastruktur, dan rekonsiliasi antara seluruh pihak yang pernah bertikai.

Menurut Cawagas dan Swee-Hin (1991) penting juga diberikan pendidikan perdamaian kepada generasi muda, yang meliputi hal-hal berikut
  1. Membongkar dan menyingkirkan budaya kekerasan.
  2. Hidup dengan rasa keadilan dan kepedulian.
  3. Mempromosikan hak asasi manusia dan tanggung jawab sosial.
  4. Hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam (bumi).
  5. Membangun budaya menghormati solidaritas dan rekonsiliasi.
  6. Terus mengembangkan inner peace, yaitu prinsip damai dalam diri sehingga berupaya menciptakan kedamaian di masyarakat.
Harus diingat bahwa konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat. Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan konflik serta komunikasi yang baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan merupakan cara terbaik apa pun bentuk akomodasi maupun resolusi konflik yang ditempuh

Strategi Mengelola Konflik

Menurut. Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah mengelola konflik, yang dilakukan oleh para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang diharapkan dapat menghasilkan penyelesaian konflik dan juga kesepakatan, mendukung terciptanya ketenangan, hal-hal positif, kreatif, serta bermanfaat. Strategi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika ada kemungkinan konflik dapat men-gakibatkan banyak kerugian. Penghindaran merupakan strategi yang me-mungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk sejenak menenangkan diri dan memikirkan ulang posisi masing-masing.
b. Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi peme-cahan konflik, khususnya apabila isu yang menyebabkan konflik tersebut juga penting bagi orang lain. Di sini dimungkinkan berlangsungnya kerja sama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk ikut serta membuat keputusan. Pihak yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasi kepentingan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan mereka sebagai prioritas.
c. Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing pihak memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan. Berusaha saling memberi dan menerima, demi mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dan meminimalkan potensi kerugian.
d. Memecahkan Masalah atau Kolaborasi
1) Ingatkan pihak-pihak yang sedang berkonflik pada tujuan yang lebih penting ketimbang menghabiskan waktu dan sumber daya untuk konflik.
2) Memperluas sumber daya yang ada. Konflik bisa terjadi karena perebutan sumber daya yang terbatas.
3) Mencari titik temu dari perbedaan yang ada.
4) Gunakan kekuasaan dan wewenang. Ini adalah cara paling kuno untuk mengelola konflik. Ketika pihak-pihak yang berkonflik tidak kunjung bersedia menghentikan pertikaian, seorang pemimpin harus bersikap tegas dan menggunakan kekuasaannya agar konflik dapat dihentikan segera. Walau mungkin ada rasa tidak puas, namun karena pimpinan memiliki kekuasaan, mau tidak mau mereka harus mematuhinya.
5) Mengubah sifat pihak-pihak yang gemar berkonflik. Mengubah sifat seseorang sangatlah sulit. Namun, ini adalah strategi mengelola konflik yang paling efektif untuk jangka panjang.

Demikian materi tentang pemetaan, dinamika dan penanggulangan konflik sosial ini, semoga bermanfaat.
Sumber diambil dari buku Sosiologi SMA/MA kelas XI

0 Response to "Pemetaan, Dinamika dan Penanggulangan Konflik Sosial"

Post a Comment

Kritik dan sarannya dipersilahkan...! No pising, no spam, tidak singgung sara.... :)
"bagikan komentar berpahala, tidak berkomentar tidak berdosa."

Lisensi Creative Commons